Mukjizat Ilmiah dalam Al-Quran: Unta

Download Murottal Hani Ar-Rifa'i

Keserasian Al-Quran dengan Zaman

Download Murattal Misyari Rasyid Al-'Afasi

Senin, 11 November 2013

Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 8:53:00 PM
Oleh: Dr. Raghib As-Sirjani

Tidak diragukan lagi bahwa hari kehancurannya orang-orang zhalim adalah hari raya (ied)!
Sehingga apabila orang-orang yang terzhalimi bukan dari golongan Muslimin sekalipun, kita tetap membenci kezhaliman dan mencela. Kita bahagia dan gembira dengan hilangnya kezhaliman. Setiap bentuk kezhaliman itu selalu dibenci, Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar r.a, dari Rasulullah SAW memberi kabar dari Tuhan Yang Maha Mulia:

"يَا عِبَادِي، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلاَ تَظَالَمُوا"

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan zhalim terhadap diri-Ku, dan menjadikannya haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi”.

Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW memasuki Madinah Al-Munawwarah setelah hijrahnya dari Makkah, beliau mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum pada hari ‘Aysûrâ  -yaitu hari kesepuluh pada bulan Muharram-. Kemudian beliau bersabda –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas r.a,:

"مَا هَذَا؟" قالوا: هذا يومٌ صالح، هذا يوم نجَّى اللهُ بني إسرائيل من عدوهم فصامه موسى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ"؛ فصامه وأمر بصيامه

“Apa ini”, mereka menjawab: “ini adalah hari kebaikan, hari dimana Allah SWT menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka kemudian Musa as shaum pada hari tersebut”, Rasulullah SAW bersabda: “Maka aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”, maka beliau shaum dan memerintahkan untuk melaksanakan shaum.

Shaum ‘Aysûrâ  pada awalnya adalah wajib bagi setiap muslim. Ketika diwajibkan shaum Ramadhan, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai sunnah tetapi beliau ingin menganjurkan kaum Muslimin untuk tidak meninggalkan shaum ini. Kemudian Beliau bersabda –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah r.a,-:

"صِيَامُ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً"

“Shaum pada hari ‘Aysûrâ akan menebus dosa pada tahun yang telah lalu”.

Dan pasti kita akan bertanya-tanya: Mengapa perhatian yang besar dan peringatan yang agung ini pada hari ‘Aysûrâ?

Sesungguhnya pelajaran yang jelas dan tujuan yang jelas pula mengenai hal ini adalah keinginan Rasulullah SAW agar peringatan ini tidak berlalu dalam pikiran kaum Muslimin tanpa pemikiran dan pemahaman. Beliau ingin kita mempelajari peristiwa ini meskipun hanya satu kali setiap tahun, yaitu peristiwa yang besar dan pelajaran yang dalam.

Telah berlalu suatu masa kepada Bani Israil dimana kebanyakan orang merasa bahwa pertolongan itu jauh, harapan yang hampir hilang dalam perubahan realita, Fir’aun akan selalu membebani rakyat-rakyatnya sepanjang zaman dan tentara-tentara yang zhalim akan selalu di tempat-tempat mereka bagaimanapun orang-orang lemah Bani Israil berusaha.

Kemudian apa yang terjadi?

Sesungguhnya kita semua melihat dan paham tetapi kebanyakan kita lupa!

Kita melihat Fir’aun memimpin pasukannya dalam kecongkakan dan kesombongan untuk menerobos laut setelah ia melihat mukjizat terbelahnya lautan. Kemudian ia beserta para pasukan dan penolongnya celaka secara bersamaan dalam satu waktu. Kita lihat peristiwa ini dan memahami bahwa Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kita mengetahui dengan jelas bahwa orang-orang zhalim pasti akan pergi. Bagaimanapun hukum-hukum dan kesombongan mereka yang berlangsung lama pasti akan berakhir. Betapa hebatnya sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari r.a,:

"إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ"، ثم قرأ: وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

“Sesungguhnya Allah SWT pasti akan menangguhkan orang zhalim sehingga apabila Dia menyiksanya Dia tidak akan membebaskannya”, kemudian Rasulullah SAW membaca: “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (Q.S. Hûd: 102).

Sesungguhnya inilah yang Rasulullah SAW inginkan agar kita mengingatnya.
Sesungguhnya harapan itu tidak selalu mati di hati kita. Bagaimanapun keadaan darurat yang melanda orang-orang mukmin, mereka akan keluar dari keadaan tersebut dengan keutamaan dan kekuatan Allah SWT. Allah SAWT berfirman:

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. al-A’râf: 128)

Kemudian sunnahnya kehancuran orang-orang zhalim bukanlah satu-satunya peristiwa yang terjadi pada kehidupan nabi Musa as ketika hancurnya Fir’aun yang melampaui batas dan sombong, melainkan suatu peristiwa yang berulang-ulang dengan bentuk yang lebih banyak dalam peristiwa-peristiwa di dunia. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:

وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آَخَرِينَ 

Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim yang teIah Kami binasakan, dan Kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu (sebagai penggantinya).” (Q.S. Al-Anbiyâ`: 11)

Dan betapa dalamnya kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah SAW pada hari terbunuhnya Abu Jahal pada hari Badar ketia ia bertakbir, kemudian Beliau bersabda:

"هَذَا فِرْعَوْنَ هَذِهِ الأُمَّةِ"
“Ini adalah Fir’aunnya umat ini”.

Sungguh Rasulullah SAW telah menghubungkan dalam satu kalimat antara Fir’aun pertama yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Fir’aun yang baru, Abu Jahal agar ditanamkan dalam ingatan kita bahwa bentuk yang telah disebutkan Allah SWT mengenai Fir’aun dalam kitab-Nya bukan hanya sejarah tentang peristiwa masa lalu, hanyasannya ia adalah suatu sifat yang sangat dalam untuk tipe para Fir’aun yang sombong, penjelasan yang rinci tentang perjalanan hidupnya, cara berpikirnya, perantara-perantara kesombongannya dan posisi orang-orang mukmin diantara mereka. Kemudian pada akhirnya ia adalah penjelasan untuk kesudahan mereka bagaimanapun mereka sombong dan zhalim.

Rasulullah SAW menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab nyata yang hidup bagi kita. Setiap muslim membuka kitab ini dan membaca lembaran-lembaran tentang Fir’aun, ia akan menemukan waktu dan tempat kehidupan Fir’aun. Betapa banyaknya Fir’aun! Dan betapa banyak bentuk yang mereka kenakan! Kadang kala datang dalam bentuk kekufuran penyembah berhala, kadang kala datang dalam bentuk tentara salib, kadang kala datang dengan bentuk Tatar, kadang kala datang dalam bentuk penjajah Eropa, bahkan banyak pula yang datang dengan bentuk Muslim!!

Benar,,,betapa banyaknya Fir’aun!

Akan tetapi termasuk yang ditetapkan bahwa mereka semua memiliki akhir dan Allah SWT tidak akan mengingkari janji.

Makna inilah yang Rasulullah SAW kehendaki masuk dalam akal kita, inilah sebabnya kita peringati hari ‘Aysûrâ. Dan inilah pelajaran yang harus kita ambil dari suatu peristiwa. Tidak seharusnya kita membiarkan media atau sebagian kelompok membawa kita jauh dari tujuan ini. Dan tidak seharusnya kita membiarkan mereka menyalah gunakan pikiran kita, memalingkan tujuan dan prinsip kita dari kehendak Rasul dan Tauladan kita Muhammad SAW.

Sesungguhnya hari ‘Aysûrâ  adalah hari yang baik. Hari dicabutnya kezhaliman, ditolongnya keimanan dan munculnya kekuasaan Tuhan Semesta Alam.

Sabtu, 10 Maret 2012

Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:54:00 AM
Khatimah



Al-Qur’an adalah firman Allah Swt. yang dinukilkan secara mutâwatir dengan bahasa Arab yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-Nâs. Al-Qur’an dengan segala mukjizat yang terkandung di dalamnya mampu melumpuhkan seluruh kegiatan penentang Al-Qur’an yang menolak kebenaran dan Al-Haqq (Allah Swt.).
Di dalamnya terkandung hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya kepada Sang Pencipta dan sesama manusia. Realisasi dari hukum-hukum tersebut dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama, hukum i’tiqâdhiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan akidah.
Kedua, hukum akhlâqiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan akhlak dan tasawuf.
Ketiga, hukum syar’iyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Pada realisasinya hukum ini terbagi menjadi dua, yaitu: ibadah dan mu’âmalah.
Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum di satu sisi disampaikan secara global dan di sisi lain secara terperinci. Gaya bahasa yang digunakan dalam menjelaskan hukum pun mudah dipahami oleh sebagian kalangan yang memang mumpuni terhadap ilmu yang mempelajari gaya bahasa Al-Qur’an.
Dalam posisinya sebagai firman Allah Swt. yang dinukilkan secara mutâwatir, Al-Qur’an merupakan sumber hukum dan dalil fikih pertama dalam penetapan hukum. Berbeda dengan qirâ`at syadzdzah yang kedudukannya bukan sebagai Al-Qur’an dan tidak dapat dijadikan landasan dalam penetapan hukum.
Makalah ini ditulis dan diselesaikan atas izin Allah Swt. dengan segala kemurahan dan kasih sayang-Nya. Semua kesalahan yang terdapat dalam makalah ini murni kesalahan penulis. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi terciptanya penulisan yang lebih baik lagi.
Wallâhu A’lam

  

Daftar Pustaka:

1.      Al-Syaukâni, Muhammad bin ‘Ali, Irsyâdu`l Fuhûl Ilâ Tahqîqi`l Haq Min ‘Ilmi`l Ushûl, Dâr Al-Fadhîlah, 2000.
2.      Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, edisi terjemah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2010.
3.      Al-Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah, Ûshûlu`l Fiqhi`l Islâmî, Jilid I. Dâr Al-Fikr, Beirut, 1986.
4.      Fahd, Mujamma’ Al-Malik, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah, 1426 H.
5.      Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, Ushul Fiqh, Jilid 1, PT Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2000.
6.      Zaidan, Dr. Abdul Karim, Al-Wajîz Fî Ushûli’l Fiqh, Mu`assasah Al-Risâlah, Beirut, 2009.


Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:51:00 AM

         Kehujahan Al-Qur’an

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Al-Qur’an diturunkan secara mutawâtir dengan kedudukannya sebagai qath’iyyu`l wurûd, maka tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah Swt. Alasan lain bahwa Al-Qur’an benar-benar diturunkan oleh Allah Swt. adalah mukjizat yang terkandung di dalamnya.
Para ulama bahkan seluruh umat muslim sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber dan dalil hukum fikih pertama. Karena kedudukannya sebagai sumber hukum utama dan pertama, maka bagi seseorang yang hendak mencari suatu hukum atas suatu kejadian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Selama masalah dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Kekuatan hujah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fikih terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat manusia untuk mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah Swt. berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.[1]
Dari pembahasan ini, kita dapat membuat sebuah pertanyaan bahwa; Apakah bacaan yang syadz (Al-Qirâ`at Al-Syadzdzah) dapat dijadikan sumber dalam penetapan hukum?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya bagi kita untuk mengetahui macam-macam qirâ’at.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam karyanya yang berjudul Mabâhits Fî Ulûmi`l Qur’ân bahwa sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qirâ’at menjadi enam macam:
1.    Mutawâtir, yaitu qirâ`at yang dinukil oleh banyak perawi dan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung sampai Rasulullah Saw.
2.     Masyhûr, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmâni  dan juga terkenal di kalangan para ahli qirâ`at. Para ulama menyebutkan bahwa qirâ`at macam ini termasuk qirâ`at yang dapat digunakan.
3.      Âhâd, yaitu qirâ`at yang sanadnya sahih tetapi menyalahi rasm Utsmâni dan kaidah bahasa Arab. Qirâ`at macam ini tidak dapat diamalkan bacaannya.
4.    Syadz, yaitu bacaan yang tidak sahih sanadnya, seperti qirâ`at  مَلكَ يومَ الدين(Q.S. Al-Fatihah: 4) dengan bentuk fi’il madhi dan menashabkan يومَ.
5.      Maudhu’, yaitu qirâ`at yang tidak ada asalnya.
6.      Mudarraj, yaitu qirâ`at yang di dalamnya terdapat tambahan tafsir. Seperti qirâ`at Ibnu Abbas: ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم في مواسم الحج فإذا أفضتم من عرفات (Q.S. Al-Baqarah: 198), kalimat في مواسم الحج adalah penafsiran yang disisipkan Ibnu Abbas ke dalam ayat.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan menambahkan bahwa empat macam yang terakhir ini tidak dapat diamalkan. Menurut jumhur ulama, qirâ`at sab’ah itu mutawâtir dan dapat diamalkan. Dan yang tidak mutawâtir, seperti masyhûr, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.[2]
Setelah mengetahui sedikitnya pengetahuan mengenai macam-macam qirâ`at dan pengetahuan bahwasannya qirâ`at syadzdzah bukanlah Al-Qur’an, selanjutnya kita bahas secara khusus mengenai qirâ`at syadzdzah apakah boleh dijadikan hujah atau tidak. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, di antaranya:
1.   Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat tidak boleh menjadikan qirâ`at syadzdzah sebagai sumber penetapan hukum. Dengan begitu, kewajiban puasa untuk kafarat sumpah yang tiga hari tidak mesti berturut-turut. Alasan kelompok ini ialah bahwa Nabi Muhammad Saw. dituntut untuk menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada suatu kaum yang tentunya ucapan mereka itu merupakan kekuatan dalam menetapkan hukum. Kaum tersebut tidak mungkin secara bersama-sama tidak menukilkan apa yang mereka terima dari Nabi Saw. Periwayat yang menyampaikan sebuah pesan –jika seorang saja- kemudian mengatakan bahwa pesan tersebut adalah Al-Qur’an, ada kemungkinan ia salah. Jika ia tidak menyebutkan pesan tersebut sebagai Al-Qur’an, maka orang lain akan berada dalam keraguan antara apakah pesan tersebut berasal dari Nabi Saw. atau pendapat dia sendiri. Dengan demikian, maka pesan tersebut tidak dapat dijadikan hujah yang kuat.
2.   Hanafiyyah dan Hanabilah menerima qirâ`at syadzdzah sebagai sumber penetapan hukum. Dengan demikian, kelompok ini menetapkan puasa tiga hari berturut-turut dalam kewajiban kafarat sumpah. Alasan mereka adalah meskipun qirâ`at syadzdzah periwayatannya tidak meyakinkan sebagai Al-Qur’an, tetapi setidaknya sama dengan hadits âhâd. Sedangkan hadits âhâd dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[3]
Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah dengan alasan bahwa qirâ`at syadzdzah bukanlah Al-Qur’an karena tidak dinukil secara mutawâtir. Bahkan qirâ`at syadzdzah pun tidak termasuk sebagai sunnah, karena pada dasarnya qirâ`at syadzdzah dinukil atau diriwayatkan sebagai Al-Qur’an dan bukan sebagai sunnah.[4]


[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 73.
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, op. cit., hal. 220.
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 51.
[4] Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili, op. cit., hal.427.
Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:48:00 AM
        Isyarat Al-Qur’an terhadap Hukum

Al-Qur'an Al-Karîm itu qath'iyyu`l wurûd yang sampai kepada kita secara mutawâtir. Maka hukum-hukum yang terkandung di dalamnya adalah qath'iyyu` al-tsubût (pasti ketetapannya). Namun dali-dalil yang menunjukkan kepada hukum itu ada yang sudah jelas (Qath'iyyatu Al-Dilâlah) dan ada juga yang masih samar (Zhanniyyatu`l Dilâlah).
1.      Qath'iyyatu Al-Dilâlat
Ayat-ayat yang qath'iyyatu al-dilâlat adalah lafazh Al-Qur'an yang menunjukan kepada satu makna dan mudah difahami, seperti ayat-ayat tentang waris, hudûd dan kafarat. Allah Swt. berfirman:

"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: baagian seorang anak lelaki sama dengan baagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta...." (Q.S. Al-Nisâ: 11)

Dalam ayat lain disebutkan:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera.” (Q.S. Al-Nûr: 2)

Dua pertiga, setengah dan seratus telah jelas maknanya. Dan dalil-dalil tersebut tidak mengandung makna yang lain.

2.      Zhanniyyatu`l Dilâlah
Ayat-ayat yang zhanniyyatu`l dilâlah adalah lafazh Al-Qur'an yang masih samar maknanya dan mengandung lebih dari satu makna, seperti lafazh qurû` dalam firman Allah Swt.:

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû`." (Q.S. Al-Baqarah: 228)

Lafazh al-qar`u (القرء) dalam bahasa Arab mengandung dua makna; suci dan haid. Maka ayat ini mengandung dua makna pula; tiga kali suci atau tiga kali haid. Dilâlah yang menunjukkan kepada salah satu dari dua makna terebut adalah zhanni, bukan qath'i.
Posted by Iqsas Ahmad Nurguslanda On 11:47:00 AM

       Gaya Bahasa Al-Qur’an dalam Menjelaskan Hukum

Al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang beraneka ragam dalam menjelaskan hukum. Dengan keadaannya sebagai mukjizat dan kitab petunjuk, Al-Qur’an memperlihatkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara memberikan motivasi untuk mengerjakan dan membuat jera terhadap orang yang menentang.
Dari sini kita dapat mengetahui suatu pekerjaan yang bersifat wajib untuk dikerjakan dengan nash Al-Qur’an yang menunjukkan kepada kewajibannya dengan bentuk perintah (Al-Amru), seperti:

“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Q.S. Al-Thalâq: 2)

Atau dengan perbuatan yang diwajibkan terhadap lawan bicara (pembaca Al-Qur’an), seperti:
 
“diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan perbuatan yang wajib dengan memberikan pahala dan ganjaran bagi pelakunya, seperti:

“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam surga.” (Q.S. Al-Nisâ: 13)

Al-Qur’an menjelaskan suatu perbuatan yang haram dengan menyebutkannya dalam bentuk larangan (Nahyi), seperti:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. Al-An’âm: 151)

Terkadang pula Al-Qur’an menjelaskan ancaman atau menyebutkan hukuman bagi pelakunya, seperti:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S. Al-Nisâ: 10)

Dengan demikian, maka wajib bagi setiap orang yang hendak mengambil kesimpulan hukum dari Al-Qur’an untuk mengetahui gaya bahasa yang digunakannya, mengetahui tata cara Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu hukum dan mengetahui indikasi dalil yang menunjukkan kepada wajib (wujûb), haram (hirmah) atau boleh (ibâhah).
Dari penjelasan di atas, dapat diambil suatu pelajaran bahwa:
1.      Suatu hukum masuk dalam kategori wajib (al-wujûb) atau sunnah (al-nadbu) apabila dalil yang digunakan berbentuk perintah atau anjuran. Atau dalam kondisi lain disebutkan dalam Al-Qur’an yang dibarengi dengan pujian, kecintaan (mahabbah), sanjungan, kebaikan, pahala dan ganjaran bagi pelakunya.
2.      Suatu hukum masuk dalam kategori haram (al-hirmah) atau karâhah apabila dalil tersebut menggunakan bentuk larangan atau tuntutan untuk menjauhi dan meninggalkan pekerjaan. Atau dalam kondisi lain disebutkan dalam beberapa bentuk, yaitu: celaan bagi pelakunya, sebab datangnya azab dan murka Allah Swt., sebab masuk neraka, laknat bagi pelakunya, menyifati pelakunya dengan hewan atau setan dan lain sebagainya.
3.      Suatu hukum masuk dalam kategori Ibâhah apabila dalil yang digunakan menunjukan kepada Ibâhah, seperti: penghalalan, pengizinan, meniadakan dosa dan larangan (Nafyu`l Haraj dan Nafyu`l Junâh).[1]


[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 124.